Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai daerah pada 28–31 Agustus 2025 menjadi penanda krisis serius yang tengah dihadapi bangsa.
Ribuan massa dari berbagai elemen, mulai mahasiswa, buruh, hingga masyarakat umum, turun ke jalan menyuarakan protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Ikatan Keluarga Alumni Serikat Mahasiswa Indonesia (IKASMI) menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi ini, menilai bahwa aksi-aksi massa tersebut bukan sekadar letupan emosional, melainkan cermin nyata dari krisis demokrasi, penderitaan ekonomi rakyat, dan buruknya komunikasi publik elit politik negeri ini.
Fakta di lapangan memperlihatkan bagaimana beban hidup masyarakat kian berat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Juli 2025 berada di angka 2,37% (year on year / yoy, yaitu perbandingan harga-harga Juli 2025 dengan Juli 2024), dengan kenaikan tertinggi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Harga beras medium rata-rata telah 6,49% di atas HET, sedangkan beras premium melonjak hingga 8,7% di atas HET.
Sementara itu, cabai rawit, bawang merah, dan tomat juga mengalami lonjakan signifikan, mempersempit daya beli rakyat kecil. Di sisi lain, jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, meningkat sekitar 83 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya, dengan 3,6 juta di antaranya adalah anak muda usia 15–24 tahun.
Ironisnya, di tengah rakyat yang kesulitan, elit politik justru menambah luka dengan wacana kenaikan gaji DPR RI dan fasilitas pejabat negara. Pernyataan sejumlah anggota DPR yang dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat memperlebar jurang empati. Bagi IKASMI, sikap ini jelas memicu amarah publik yang meledak dalam demonstrasi berhari-hari di berbagai daerah. “Gelombang protes ini adalah alarm keras bahwa demokrasi kita sedang berada di tepi jurang krisis. Elit politik tidak bisa lagi menutup mata,” tegas IKASMI.
Dalam sikap resminya, IKASMI mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian terhadap massa aksi. Kebebasan berpendapat, menurut IKASMI, adalah hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 dan tidak boleh dibungkam dengan gas air mata. Selain itu, IKASMI menolak kebijakan ekonomi yang semakin membebani rakyat, mulai dari rencana kenaikan PPN 12%, pungutan K3, hingga kebijakan fiskal yang tidak adil. DPR RI dan partai politik diminta menghentikan wacana kenaikan gaji serta kembali memperjuangkan kepentingan rakyat, sementara Presiden RI didesak melakukan evaluasi serius terhadap kabinet dan membenahi komunikasi publik pemerintah yang selama ini kehilangan empati.
IKASMI juga menegaskan pentingnya amanat Pasal 33 UUD 1945, bahwa kekayaan alam Indonesia adalah milik rakyat dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir elit. Bersamaan dengan itu, IKASMI mengajak seluruh elemen masyarakat, buruh, petani, mahasiswa, dan kelas menengah kota untuk memperkuat solidaritas, menjaga demokrasi, dan menolak dominasi oligarki. Namun, IKASMI juga mengingatkan bahwa perjuangan rakyat tidak boleh dilakukan dengan cara-cara destruktif. Dalam pernyataannya, IKASMI mengimbau masyarakat untuk menjaga ketertiban, tidak melakukan pengrusakan fasilitas umum maupun penjarahan, serta menghindari tindakan anarkis. Aksi jalanan harus tetap bermartabat, terorganisir, dan berlandaskan etika perjuangan demokratis.
“Gelombang demonstrasi yang terjadi pada 28–31 Agustus 2025 adalah koreksi keras dari rakyat terhadap kekuasaan. Namun, koreksi itu akan kehilangan makna bila berubah menjadi anarkisme. Rakyat harus tetap menjaga marwah perjuangan, sementara elit politik wajib mendengar dan segera melakukan perubahan mendasar,” demikian pernyataan resmi IKASMI.











