Langit sore di Tugu Adipura, Bandarlampung, tampak biasa saja. Lalu lintas padat, pedagang kaki lima berteriak menawarkan dagangan, dan mahasiswa berkumpul membicarakan isu terbaru kota.
Namun, ada satu kabar yang tidak biasa Pemerintah Kota Bandarlampung dikabarkan memberikan hibah Rp60 miliar kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Kabar hibah itu masuk cepat ke ruang-ruang DPRD Kota Bandarlampung. Sidang paripurna digelar, dengan janji bahwa pengawasan akan dilakukan secara ketat. Namun, jalannya sidang seperti sandiwara yang sudah ditulis sejak awal. Hampir semua fraksi setuju.
Tahun 2025, tahap pertama hibah cair. Sebagian orang melihat halaman kantor Kejati ditata ulang dan ada wacana pembangunan fasilitas baru.
Tetapi, bagi warga kota, tak ada perubahan berarti. Jalan rusak tetap menganga, banjir tetap datang setiap musim hujan.
DPRD, yang seharusnya mengawasi, justru bungkam. Mereka seperti menutup mata, membiarkan aliran dana itu melenggang tanpa hambatan.
Menjelang 2026, isu Rp45 miliar yang akan cair membuat keresahan baru.Di sebuah kampus, mahasiswa menulis catatan di buku usangnya.
Jika DPRD tutup mata, rakyat tidak boleh tutup suara. Karena uang ini bukan milik pejabat, bukan milik kejaksaan, tapi milik rakyat.
Kata-kata itu sederhana, namun jadi semacam doa dan perlawanan kecil di tengah kota yang terus dipaksa diam.
Hibah itu pun akan menjadi cerita, cerita tentang bagaimana uang rakyat mengalir ke tempat yang jauh dari jangkauan rakyat sendiri, sementara wakil rakyat memilih berperan sebagai penonton dalam sandiwara yang mereka tahu akhirnya.





