Metro  

Bawaslu Seret Qomaru ke Pidana, Ahli Hukum Nilai Mestinya Selesai Secara Administratif

Metro – Proses persidangan Calon Wakil Wali Kota Metro, Qomaru Zaman yang terlilit masalah hukum dalam Pilkada, menghadirkan ahli hukum tata negara dan hukum pidana untuk memberikan keterangan di Pengadilan Negeri Kota Metro, Selasa, 29/10/2024 malam.

 

Berdasarkan informasi yang dihimpun Matapena.co, diketahui dua ahli yang dihadirkan berasal dari Fakultas Hukum Universitas Lampung, yakni Dr Budiyono, Ahli Hukum Tata Negara, dan Dr Ahmad Irzal Fardiansyah, Ahli Hukum Pidana.

 

Menanggapi pendapat ahli, Kuasa Hukum Calon Wakil Wali Kota Metro Qomaru Zaman, Hadri Abunawar menyimpulkan sejumlah poin penting dari keterangan ahli di persidangan, terutama soal Hukum Tata Negara.

 

“Pasal 71 ayat (3) juncto Pasal 188 UU Pilkada 2016, yang menjadi dasar dakwaan terhadap Qomaru Zaman, di sana disyaratkan unsur-unsur yang harus dipenuhi, karena apabila salah satu saja unsur tidak terpenuhi, maka seseorang tidak bisa dinyatakan bersalah apalagi sampai dihukum,” terang Hadri saat menggelar konferensi pers pada Rabu, 30/10/2024.

 

“Nah, di aturan itu ada unsur yang sangat esensial, yakni adanya keuntungan atau kerugian yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut. Artinya, dalam istilah hukum pidana, ini namanya pidana materiil. Jadi, bukan unsur perasa sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Dapat menimbulkan kerugian itu namanya pidana formil. Sedangkan, UU Pilkada 2016 sudah mengalami perubahan. Dari tadinya UU Pilkada 2015 yang menganut pidana formil, sekarang UU Pilkada 2016 sudah berkualifikasi pidana materiil,” timpalnya.

 

Sebelumnya di persidangan, Dr Budiyono menilai, perkara yang melibatkan Calon Wakil Wali Kota Metro, Qomaru Zaman harusnya terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur administratif.

 

“Yang saya maksud adalah penyelesaian secara administratif dulu. Jika ada pelanggaran, sebaiknya diselesaikan melalui jalur administratif di KPU. Setelah itu, barulah ada langkah hukum, jika keputusan KPU dibatalkan,” jelas Budiyono.

 

“Barulah langkah pidana dilakukan, karena memang demikian yang diatur dalam undang-undang,” imbuhnya.

 

Pandangan serupa disampaikan Dr Ahmad Irzal Fardiansyah. Menurut dia, kasus Qomaru Zaman seharusnya diselesaikan secara administratif terlebih dahulu.

 

“Dalam hukum pidana administrasi, penyelesaian dilakukan dengan menggunakan sarana administratif. Misalnya, dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, penyelesaian diawali dengan majelis kehormatan,” cetus Ahmad Irzal.

 

“Kasus ini pun serupa. Sebab, ada lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa seperti Bawaslu dan KPU. Undang-undang ini masuk ke dalam ranah hukum pidana administrasi, artinya harus diselesaikan terlebih dahulu secara administratif,” tukasnya.

 

– Dugaan Salah Prosedur Penanganan

 

Dari keterangan dua ahli hukum tersebut, Hadri Abunawar menduga ada kesalahan prosedur dalam penanganan kasus Qomaru Zaman oleh Bawaslu Kota Metro.

 

“Meski begitu, proses ini harus tetap kami ikuti. Hanya memang dari pendapat para ahli, tampak adanya dugaan kesalahan prosedur penanganan oleh Bawaslu Kota Metro,” kata Hadri.

 

Menurut dia, anggota Bawaslu Kota Metro, Hendro Edi Saputro saat memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan, mengatakan proses administrasi sudah dilakukan oleh Bawaslu dan sudah memutuskan dalam rapat pleno, jika dugaan perkara Qomaru secara administratif tidak terpenuhi sehingga dihentikan, meski belakangan mereka alihkan masalah tersebut ke arah dugaan pidana pilkada.

 

“Makanya ahli hukum menanyakan, bingung mereka. Kalau secara administratif tidak terpenuhi, mengapa prosesnya diteruskan ke pidana? Padahal ini menganut asas ultimum remedium, yaitu asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa pemidanaan atau sanksi pidana merupakan pilihan terakhir dalam penegakan hukum. Mestinya yang dikedepankan adalah proses administratifnya, baru ke hukum pidana,” terang Hadri lagi.

 

Perkara yang menyeret nama Qomaru Zaman berawal saat dia memberikan sambutan dalam kegiatan di Dinas Sosial Kota Metro, pada Kamis, 19 September 2024 silam.

 

Saat itu, Qomaru yang masih menjabat sebagai Wakil Wali Kota Metro dan belum ditetapkan sebagai calon kandidat oleh KPU, menanggapi lontaran peserta acara yang meminta dirinya untuk kembali memimpin bersama bakal Calon Wali Kota Metro, Wahdi Siradjuddin.

 

Belakangan, ajakan Qomaru yang direkam kemudian diedit, hingga akhirnya disebarluaskan di media sosial dan membuatnya diperiksa Gakkumdu, yang sebelumnya menerima rekomendasi dari Bawaslu Kota Metro terkait persoalan Qomaru.

 

Dalam pembahasan maraton itu, Gakkumdu menggunakan Pasal 71 ayat (3) jucto Pasal 188 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.

 

Dalam Pasal 71 ayat (3) itu disebutkan bahwa kepala daerah dan wakilnya dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai penetapan paslon terpilih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *